*Mencari Keadilan yang Benar-Benar Hidup Aksiologi Teori Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahardjo*
Oleh: Rian Sukmawan
Magister Hukum, Universitas Muhammadiyah Metro
Ketika Hukum Terasa Jauh dari Rakyat
Bagi banyak orang, hukum sering terasa menakutkan. Datang ke kantor polisi atau pengadilan bukanlah pengalaman yang menyenangkan, terutama bagi masyarakat kecil. Hukum kerap dipersepsikan sebagai kumpulan pasal yang rumit, kaku, dan tidak jarang justru menyulitkan mereka yang lemah.
Di sinilah gagasan hukum progresif menjadi penting. Hukum progresif mengingatkan kita bahwa hukum seharusnya hadir untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sekadar aturan tertulis, melainkan alat untuk menghadirkan keadilan yang benar-benar bisa dirasakan.
Pemikiran ini diperkenalkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, seorang tokoh hukum Indonesia yang melihat bahwa hukum tidak boleh berhenti pada teks undang-undang. Menurutnya, hukum harus berani bergerak mengikuti kebutuhan masyarakat dan perubahan zaman.
Hukum Tidak Boleh Kehilangan Nurani
Hukum progresif menolak cara berpikir yang terlalu kaku. Pendekatan ini menegaskan bahwa manusia lebih penting daripada pasal. Karena itu, penegak hukum tidak cukup hanya membaca aturan, tetapi juga harus melihat kondisi sosial, latar belakang pelaku, dan dampak putusan hukum bagi kehidupan seseorang.
Banyak ketidakadilan muncul bukan karena orang sengaja melanggar hukum, tetapi karena kemiskinan, ketimpangan, atau keterbatasan pengetahuan. Jika hukum hanya ditegakkan secara formal, maka keadilan sering kali gagal tercapai.
Belajar dari Kasus-Kasus Nyata
Kasus Nenek Minah yang dituduh mencuri tiga buah kakao adalah contoh nyata. Secara hukum formal, perbuatannya memang memenuhi unsur pidana. Namun hakim melihat lebih dalam: tidak ada niat jahat, kerugian sangat kecil, dan kondisi ekonomi sangat terbatas. Putusan bebas yang dijatuhkan menunjukkan bahwa hukum masih memiliki hati nurani.
Hal serupa terjadi pada kasus pencurian semangka di Kediri. Jika kasus seperti ini diproses hingga pengadilan, biaya yang dikeluarkan negara justru jauh lebih besar dari nilai kerugiannya. Dalam situasi seperti ini, penyelesaian secara damai jauh lebih adil dan masuk akal.
Pendekatan inilah yang kemudian dikenal sebagai restorative justice, yaitu penyelesaian perkara dengan menekankan pemulihan, perdamaian, dan keadilan bersama, bukan sekadar menghukum.
Mengapa Legalisme Banyak Dikritik?
Sistem hukum legalistik bekerja sangat patuh pada aturan tertulis. Keuntungannya adalah kepastian hukum. Namun kelemahannya, hukum sering kehilangan rasa keadilan.
Dalam praktik legalisme, pasal sering dianggap lebih penting daripada manusia. Akibatnya, perkara kecil tetap diproses secara panjang dan rumit, sementara konteks sosial diabaikan. Rakyat kecil menjadi pihak yang paling sering dirugikan, karena mereka tidak memiliki akses dan sumber daya yang memadai.
Hukum yang terlalu kaku juga membuat masyarakat takut dan menjauh dari hukum. Padahal hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan ancaman.
Relevansi Hukum Progresif bagi Reformasi Hukum
Dalam upaya reformasi hukum nasional, hukum progresif sangat relevan. Reformasi hukum tidak cukup hanya mengganti undang-undang, tetapi juga harus mengubah cara berpikir penegak hukumnya.
Hukum progresif mendorong:
penegakan hukum yang lebih manusiawi,
penyelesaian perkara ringan di luar pengadilan,
penyederhanaan aturan yang membingungkan,
serta keberanian moral aparat hukum dalam mengambil keputusan.
Dengan pendekatan ini, hukum tidak lagi menjadi alat kekuasaan, tetapi sarana untuk melindungi dan menyejahterakan masyarakat.
Peran Penegak Hukum dalam Hukum Progresif
Semua penegak hukum memiliki peran penting.
Advokat diharapkan tidak hanya mengejar kemenangan, tetapi memperjuangkan keadilan, termasuk melalui bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Polisi perlu mengedepankan pencegahan dan perdamaian. Jaksa dituntut bijak dalam menentukan perkara yang layak dibawa ke pengadilan. Hakim, sebagai benteng terakhir keadilan, harus berani menggali nilai kemanusiaan di balik setiap perkara.
Ketika hukum ditegakkan dengan empati dan akal sehat, keadilan tidak hanya tertulis di putusan, tetapi benar-benar dirasakan oleh masyarakat.
Penutup
Hukum progresif mengajarkan bahwa hukum tidak boleh berhenti pada teks undang-undang. Hukum harus hidup, peka, dan berpihak pada kemanusiaan. Dalam konteks Indonesia yang berlandaskan Pancasila, hukum progresif sejatinya adalah upaya menghadirkan keadilan sosial dalam praktik nyata.
Jika hukum dijalankan dengan nurani, maka hukum tidak hanya akan ditaati, tetapi juga dipercaya.
Daftar Pustaka
Aufran. Penegakan Hukum dalam Perspektif Hukum Progresif. Fakultas Hukum Universitas Mataram, No. 5 (2021).
Ansori, Lutfil. Reformasi Penegakan Hukum Perspektif Hukum Progresif. Vol. 4 No. 2 (2017).
Awaluddin, Syah. Kritik terhadap Keadilan Formal: Memahami Positivisme dan Modernitas dalam Pemikiran Fransiscus Budi Hardiman. Vol. 1 No. 1 (2023).
Komtemplasi, Sebuah. Memahami Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahardjo dalam Paradigma “Thawaf”. (2009).
Wilian. Penggunaan Restorative Justice dalam Pidana Ringan. Lex Crimen, Vol. X No. 5 (2021).
Sahat, Johnson & Maruli Tua. Pidana Kerja Sosial sebagai Instrumen Hukum Pidana untuk Mengurangi Beban Lembaga Pemasyarakatan. (2025).





