Bangka Belitung, harianmetronews.com – Belakangan ini di jagat pemberitaan Provinsi Kep Bangka Belitung, Mencuat nama PT MSP (Mitra Stania Prima) sebuah korporasi yang bergerak dalam bidang tambang. Konon berafiliasi dengan ring satu Istana, Kamis 2 Oktober 2025.
Dari penelusuran media di laman inget, disebutkan bahwa perusahaan ini idirikan pada tahun 1995, dan menjadi anggota Arsari Tambang pada tahun 2011. “Cadangan terbukti 11000 ton, Sumber daya terukur 15000 ton, Lisensi Ekspor 3300 ton pada 2020
WP&B 3300 ton diterbitkan 10 Juli 2020, dan LME (telah) disahkan,” demikian dalam web perusahaan.
Meski demikian, pemegang sertifikat ISO 14001:2015 (Sistem Manajemen Lingkungan) ini, sekarang dihadapkan pada fakta pahit menyoal asal-usul sebagian pasir timah dari kelompok kolektor swasta yang banyak bertebaran di Pangkalpinang dan sekitarnya.
Deretan fakta pahit yang dimaksud antara lain adalah, dalam penyergapan di 22 September pagi, Acaw dan Leni ini sempat mengatakan bahwa dirinya menampung hasil timah diduga kuat ilegal dari beberapa lokasi penambangan ilegal.
“Ya kami keliling pak, kami beli, ya dari Batu Belubang, dari Airmesu ya banyaklah pak. Saya akui saya salah mohon arahannya pak,” kata Leni didampingi Acaw saat diienterograsi seorang petugas.
Dengan dasar fakta tersebut, artinya baik pihak Awo, Acaw dan Leni yang berdasarkan informasi lapangan termasuk salah satu pemasok timah bagi PT MSP secara tidak langsung, sudah mencoreng isi dari sertifikat sertifikat ISO 14001:2015 tentang Sistem Manajemen Lingkungan. Apalagi ditambah fakta lolosnya 10 ton timah milik Awo yang disinyalir sudah masuk ke smelter MSP.
“Kalau benar seperti itu, bisa jadi skandal besar di dunia Pertimahan di Bangka Belitung pada umumnya serta di pasar LME pada khususnya. Sebab, jika korporasi sudah memajang sertifikat ISO didalam webnya idealnya peristiwa seperti ini tidak terjadi,” kata Imran Alghiffary, warga Pangkalpinang saat dimintakan komentarnya terkait masalah asal-usul timah PT MSP.
Tidak cukup sampai disitu, skandal lainnya yang menarik dan seketika menyeruak ke ruang diskusi publik pasca penyergapan gudang Kolektor Awo adalah, soal informasi pencatutan nama RI 1 oleh seorang oknum karyawati PT MSP, Desi.
“Jadi sewaktu rumah kolektor Awo didatangi tim Satgas, seorang humas kolektor Awo, bernama Eko yang sedang ditelepon pihak Desi, di telepon terdengar suara seperti ini : [Bang, saya Desi orangnya RI1 tolong koordinasinya]. Tekanan pihak Desi via telepon ke Eko tadi, serta-merta langsung direspon oleh seorang anggota Tim Satgas; “Kalau begitu, saya juga kesini datang membawa surat perintah langsung dari RI 1, koordinasi yang lurus-lurus saja,” tegas anggota tadi,” beber sumber redaksi yang berkeberatan namanya dimasukan dalam pemberitaan.
Jika informasi yang diungkapkan oleh sumber redaksi, validitasnya bisa teruji, maka pihak oknum karyawati PT MSP bernama Desi tersebut, menghadapi masalah sangat serius. Bukan soal saja soal pencatutan nama Orang Nomor Satu demi memuluskan sebuah praktek tidak terpuji, Desi -jika benar- sudah menceburkan dirinya kedalam ranah pidana Pasal 221 KUHP tentang Obstruction Of Justice.
“Dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau MENOLONGNYA AGAR TERHINDAR DARI PENYIDIKAN/PENAHANAN oleh aparat hukum,” demikian keterangan yang dinukil dari penjelasan Pasal 221 ayat 1.
Masalah kedua bagi Desi yang menunggunya ialah, soal terseretnya pihak korporasi kedalam lingkaran setan praktek penambangan ilegal di Provinsi Kep Bangka Belitung. “Dengan asumsi adanya komunikasi sewaktu penyergapan di tempat Awo, maka bisa diduga Desi sangat tahu betul skema permainan para kolektor swasta di Babel,” imbuh Imran lagi.
Media sudah berupaya melakukan kontak pada oknum karyawati PT MSP tersebut, tapi belum tersambung dan akan terus diusahakan agar bisa coverboth stories. (***)